Sebuah laporan terbaru dari UNODC, kantor PBB yang menangani urusan narkoba dan kejahatan, mengungkapkan bahwa aplikasi Telegram telah menjadi sarana utama bagi jaringan kriminal di Asia Tenggara untuk melakukan aktivitas ilegal dalam skala besar.
Mengutip Reuters, Selasa (8/10), laporan ini menambah daftar tuduhan terhadap Telegram. Sebelumnya, Prancis telah mengajukan tuntutan terhadap pendiri Telegram, Pavel Durov, dengan tuduhan membiarkan aktivitas kriminal di platformnya.
Menurut laporan UNODC, aktivitas ilegal yang terjadi di platform tersebut meliputi perdagangan data hasil peretasan, seperti informasi kartu kredit, password, dan riwayat penelusuran. Selain itu, berbagai alat kejahatan siber, seperti perangkat lunak deepfake dan malware untuk pencurian data, juga dijual secara luas di Telegram.
Bahkan, terdapat bursa mata uang kripto yang tidak memiliki izin untuk kegiatan pencucian uang. Laporan tersebut juga menunjukkan adanya bukti kuat mengenai pasar data gelap yang beralih ke Telegram, di mana penjual secara aktif menargetkan kelompok kejahatan terorganisir transnasional yang beroperasi di Asia Tenggara.
Perlu dicatat bahwa Asia Tenggara merupakan pusat utama bagi industri penipuan yang menargetkan korban di seluruh dunia, dengan nilai yang diperkirakan mencapai miliaran dolar. Industri penipuan ini diprediksi dapat menghasilkan antara USD 27,4 miliar hingga USD 36,5 miliar.
Mengenai laporan UNODC, Telegram belum memberikan tanggapan resmi. Sebelumnya, CEO Pavel Durov ditangkap oleh otoritas Prancis segera setelah tiba dengan pesawat jet pribadinya di bandara Paris pada Minggu, 25 Agustus 2024.
Menanggapi hal ini, Telegram segera mengeluarkan pernyataan resmi yang mengutuk tuduhan bahwa Pavel Durov harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan aplikasi chatting tersebut.